Love Story
Gugurnya Bunga Sakura
Ran melangkahkan kakinya dengan
cepat. Hari ini jadwalnya bertemu dosen pembimbing skripsi. Seharusnya proposal
ini sudah jadi sejak seminggu yang lalu. Tapi dia terlalu santai. Sebulan
terakhir dia terlalu banyak main karena ayahnya baru membelikan mobil setelah
sekian lama dia merengek-rengek. Jalan-jalan adalah hobi barunya sekarang.
"Ran!" Kazuha, teman
seangkatannya memanggil.
"Mau bimbingan?" tanya
Kazuha. Ran mengangguk.
"Aku duluan ya. Si pak
'Gorilla' akan mengajar jam 11 nanti. Aku harus cepet-cepat", pamit Ran.
Kazuha mengangguk. "Good Luck,
ya!"
Ran membalikkan badannya dan
bergegas beralan ke tangga. Dia tidak melihat ada seseorang sedang menuruni
tangga dengan cepat. BRAK!
Ran terjengkang ke belakang. Pria yang
menabraknya juga terjungkal. Bahkan kepalanya sampai terbentur tembok. Isi map
yang dibawa Ran berhamburan.
Kazuha berlari menghampiri Ran.
"Kau gak apa-apa Ran?"
Ran meringis. "Kalau jalan
hati-hati, dong. Pakai mata!" bentaknya pada pria itu.
Kazuha langsung mencubit lengannya.
"Ran…!" katanya tertahan.
Pria yang menabrak Ran terperangah.
Mukanya memerah. Ia hendak berkata, tapi keduluan Kazuha.
"Maaf Shinichi-sensei. Teman
saya sedang terburu-buru."
"Lain kali hati-hati,"
kata pria itu, kemudian berlalu.
"Sensei?" Ran memandang
Kazuha penuh tanya, meminta penjelasan.
"Dia dosen baru, belum
mengajar. Baru menjadi asisten. Lulusan Universitas Beika terbaik tahun
kemarin. Dia baru masuk waktu kau keluar negeri kemarin".
Pipi Ran memerah. Dia tidak tau jika
laki-laki yang tadi bertabrakan dengannya adalah dosen.
BRAKK!
Ran tergagap. Dia merasakan sakit
yang amat sangat pada kakinya. Ternyata sebuah laptop yang dibawa seseorang
menimpa kakinya. Saat itu dia sedang menunggu giliran sidang proposal.
"Kau gak apa-apa?" tanya
orang yang tak sengaja menatuhkan laptop itu.
Ran mendingak. Matanya berair
menahan sakit. Dia terkejut melihat orang itu. Dia adalah laki-laki yang
bertabrakan dengannya di tangga tempo hari.
"Duduk dulu. Kita lihat apa ada
yang luka."
"Jelas ada yang luka. Kau pikir
kakiku dari besi apa?" bentak Ran.
Belum sempat Shinichi berbicara,
seseorang memanggil namanya.
"Ran Mouri!"
Itu berarti gilirannya sidang telah
tiba. Ran segera menghaus air matanya. Dia bangkit dengan tertatih. Tapi, ya Tuhan.
Kakinya sulit digerakkan. Dia limbung. Shinichi segera menahan tubuhnya. Tapi
Ran menepisnya dengan galak. (Author: haha.. nih Ran, aku banget!)
Satu jam kemudian Ran keluar dari
ruangan dengan napas lega. Proposalnya di-acc.
"Sudah selesai sidangnya?"
tanya seseorang. Shinichi Shinichi.
"Mau apa lagi?" tanya Ran
galak.
"Benar tak butuh bantuan? Tidak
perlu ke rumah sakit?" tanya Shinichi. Ditatapnya Rann.
Ran memalingkan wajahnya, sebal.
"Dasar keras kepala",
gumam Shinichi.
Ran mendelik. "Kau.." katanya
tertahan, karena tiba-tiba merasakan nyeri pada kakinya. Refleks dia mengaduh.
"Mana yang sakit? Ayo,
kuantarkan kau ke rumah sakit," kata Shinichi. Kali ini nada bicaranya
lembut.
Ran tidak punya alasan lagi untuk
menolak. Dia mengangguk dengan malu-malu.
Sejak hari tiu, Ran punya supir
pribadi. Siapa lagi kalau bukan Shinichi. Hasil foto rontgen yang mereka
lakukan sore itu memperlihatkan ada retak ringan di rulang kaki Ran. Kaki nya
harus di gips. Otomatis dia tidak bisa menyetir sendiri mobilnya. Untuk menebus
rasa bersalahnya, Shinichi rela menyupirinya (?) bila ada hubungannya dengan
penyusunan skripsi.
"Kau benar, mau jadi supirku
untuk sementara? Serius? Tak mengganggu? Tak ada yang marah?" ujar Ran
saat Shinichi mengatakan kesediaannya mengantar jemput Ran bila diperlukan.
Mereka sedang makan es krim setelah pulang dari rumah sakit. (yummy XD)
Shinichi menggeleng. "Hanya
untuk urusan skripsi. Tapi tidak untuk ke mal. Itu tidak termasuk dalam program
kebaikan hatiku." Katanya.
Ran mendelik. "Kebaikan hati?
Hei, apa aku tak salah dengar? Aku tidak pernah minta kebaikan hatimu. Kau yang
menawarkan sendiri." Tukasnya.
Shinichi tertawa. "Kumat lagi
deh judesnya. Ia, ia.. aku minta maaf. Pasti sakit ya, kejatuhan laptop?"
Ran mengendus kesal. "Udah tau
pake nanya!".
"Kau semester berapa?",
tanya Shinichi.
"Semester akhir," jawab
Ran sambi menyendok es krimnya. Rasa dingin melumerkan emosi di hatinya.
"Mengapa mau menjadi dosen? Mengapa tidak menjadi pengacara atau
notaris?"
"Pengacara dan notaris sudah
banyak. Tapi tenaga pengajar di Jepang masih kurang. Lagi pula, kalau menadi
dosen kesempatan meraih beasiswa lebih banyak. Tapi ya, entahlah. Kau sendiri
setelah lulus mau bekerja dimana?"
"Entahlah, aku masih bingung.
Tapi target ku sih, jadi perawat," jawab Ran.
Sejak itu mereka menjadi dekat. Tapi
hanya sebagai sahabat karena ada peraturan universitas yang melarang hubungan
emosional antara mahasiswa dan dosen. Shinichi sangat membantu Ran dalam
menyusun tugas akhirnya. Dia sering meminjamkan bukunya untuk Ran. ketika kaki
Ran sembuh dan bisa menyetir lagi, hubungan mereka masih tetap akrab.
Siang di bulan September yang panas
dan berangin. Akhirnya Ran dapat diwisuda tepat waktu. Meraih predikat cum
laude pula~
"Ran!" panggil seseorang
saat dia keluar dari auditorium bersama orangtuanya.
"Ada apa, kak?", tanya Ran
pada kakaknya.
"Ponselmu hilang, Ran. Tadi ada
sms masuk berkali-kali. Juga missed call. Tapi aku tak berani buka. Waktu aku
berjalan kemari, ponselmu sudah takk ada disakuku. Mungkin terjatuh.."
"Apa?"
"Sudah, Ran, ponselmu sudah
jelek. Nanti ayah ganti dengan yang baru sebagai hadiah kelulusanmu."
Sergah tuan Mouri.
"Tapi kan, banyak nomor penting
di ponsel itu yah..", bantah Ran.
"Sudahlah Ran.", mama Ran
menegahi.
Ran hendak membantah tapi tidak
jadi. Dia juga tidak mau merusak suasana gembira hari ini. tadi dia memang
menitipkan ponselnya pada Makoto—kakaknya yang menunggu di luar auditorium
karena di dalam tidak diperkenankan membawa ponsel.
Ran menatap bintang-bintang di
langit dari balik jendela kamarnya yang terbuka lebar. Dia termangu. Andai saja
bintang-bintang itu tau apa yang dia rasakan saat ini, kerinduan. Ya, kerinduan
yang mendalam pada seseorang.
Shinichi. Entah mengapa nama itu
mengusiknya setelah sekian lama terlupakan. Tapi kejadian kemarin itu
membuatnya tersentak bahwa di suatu masa dalam hidupnya dia pernah mempunyai
teman bernama Shinichi. Bahkan sempat menaruh hati.
Ran kini bekerja sebagai perawat di
sebuah rumah sakit internasional (waaaw~ :D). Rumah sakit tempat dia bekerja
adalah rumah sakit dimana dia dirawat saat kakinya 'bermasalah' beberapa tahun
lalu. Memori Ran langsung terusik. (bahasanya ribet amir =.=).
Sejak bekerja menjadi perawat
setelah kuliahnya selesai, dia tidak pernah kontak lagi dengan Shinichi. Nomor
ponsel Shinichi pun ikut hilang bersamaan dengan hilangnya ponsel Ran. Setelah
lulus, Ran masih sering ke kampus untuk mengurus administrasi. Tapi dia tidak
pernah melihat Shinichi lagi. Laki-laki itu hilang seperti ditelan bumi.
Ran merasakan semilir angin malam
menerpa wajahnya. Air matanya menetes. Shinichi, bisik hatinya. "Mengapa
tiba-tiba aku merindukanmu? Bagaimana kabarmu sekarang?".
Ran sedang berjalan-jalan sepulang
dari tempatnya bekerja. Petang itu saat ada orang yang tak sengaja menabraknya,
dan mereka berdua sama-sama terjatuh. (again and again..)
"Hei! Kalau jalan pakai mata
dong!" bentak Ran.
"Maaf nona, saya buru-buru.
Saya hampir terlambat ke bandara, pesawat saya berangkat malam ini," kata
orang itu penuh penyesalan. Diulurkan tangannya untuk membantu Ran berdiri. Ran
mendongak. Bola matanya membesar. Dia segera mengenali sosok di depannya itu.
yah, benar tak salah lagi...
Orang itu pun terkejut melihat Ran.
"Ran?"
"Shin.. Shinichi?", tanya
Ran juga. Dia tidak menyangka orang yang menabraknya barusan adalah orang yang
beberapa hari ini dirindukannya.
" Shinichi, kau
buru-buru?", tanya Ran. "Mau kemana?"
"Ke Amerika.", jawab
Shinichi, "Sayang sekali aku harus mengejar pesawat. Kalau tidak kita bisa
mengobrol dulu. Begini saja, berikan nomor ponselmu. Nanti aku hubungi setelah
sampai disana."
Shinichi menatap Ran lekat-lekat.
"Senang sekali bisa melihatmu lagi. Kau tidak banya berubah. Bahkan makin
cantik".
Pipi Ran memerah. "Ah, ti—tidak
kok! Ada urusan apa di Amerika?".
"Aku sekarang bekerja di sebuah
perusaan teknologi terkemuka di Jepang. Besok pagi ada hal yang harus ku urus
disana, perihal diangkatnya aku jadi tenaga ahli di perusahaan serupa di sana.
Jadi aku harus berangkat malam ini." (author, cieh cieh nih.. udah
bingung)
Ran tersenyum. Diulurkan tangannya
untuk menjabat tangan Shinichi dangan hangat.
"Hati-hati ya, kutunggu
teleponnya. Aku juga senang bertemu denganmu… Lagi.."
Tiba-tiba Shinichi memeluknya erat.
Ran tergagap. Pelukan itu menyentaknya, seakan ada suatu pesan tersembunyi. (=.=
bingung nyusunnya..).
"Dulu aku sangat ingin
melakukan ini. tapi tidak pernah ada kesempatan." Kata Shinichi.
Setelah itu mereka berpisah lagi.
Ran merasa seperti tengah bermimpi.
Malam ini, tepat setahun sejak
pertemuannya dengan Shinichi, Ran memasukkan foto dirinya dan Shinichi di dalam
tasnya. Air matanya tak juga menetes walau dia ingin menangis.
Sekarang ia berada di depan nisan
Shinichi dalam rangka menghadiri setahun hari meninggalnya pria bermata teduh
itu. Ran mengetahui musibah itu dari televisi dan langsung mencari tahu setelah
melihat nama Shinichi dalam daftar salah satu korban kecelakaan pesawat yang
meninggal. Ibu Shinichi langsung histeris saat melihatnya.
"Ya Tuhan, ternyata kau
benar-benar ada.. Kau yang namanya Ran?" tanya ibunya di sela isak tangis.
Ran sungguh-sungguh tidak mengerti.
Dia baru mengerti saat wanita itu menyerahkan sepucuk surat kepadanya. Ran
membacanya dengan hati yang galau. Itu surat yang ditulis Shinichi lima tahun
lalu.
"Ran,
selamat atas wisudanya. Bila kau membaca surat ini, berarti aku sudah tidak ada
lagi di Jepang. Aku sudah berada di Belanda untuk melanjutkan S2. Akhirnya aku
mendapatkan beasiswa. Kemarin aku menunggumu di kafe tempat kita makan es krim
dulu. Ada yang ingin ku katakan sebelum aku pergi. Tapi, ponselmu tidak bisa
dihubungi.
Aku
mencintaimu. Hanya itu yang ingin kukatakan. Aku berani mengetakan ini karena
kita bukan lagi dosen dan mahasiswi. Jadi aku tidak perlu menutupi perasaanku
lagi. Aku mencintaimu, Ran.."
Hanya sanggup sampai situ surat itu
dibacanya. Membaca surat itu membuat Ran merasa ikut terkubur bersama Shinichi.
Mungkin yang menelpon dan mengirim sms saat dia diwisuda itu adalah Shinichi.
Tapi dia tidak pernah tau karena ponselnya hilang.
Ran menatap pohon bunga sakura di
depan rumah laki-laki terkasihnya itu. angin meniupkan hawa harum ke seluruh
penjuru rumah. Mengugurkan segerombol bunga sakura dan jatuh ke tanah.
Kehidupan memang penuh dengan misteri. Kita tidak pernah tau yang telah
digariskan Tuhan. Nasib seakan begitu keji mempermainkan mereka. Ran hanya bisa
berdoa agar Shinichi diberi tempat di sisi-Nya. Setidaknya, di sisa hidup,
keinginan Shinichi telah terpenuhi. Bertemu dan memeluk Ran dengan erat.
"Aku juga mencintaimu,
Shinichi. Apakah kau dengar itu?" bisik Ran. Matanya menerawang. Angin
behembus kembali dan bunga sakura pun berguguran kembali.~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar